JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, mengungkapkan, rumah tapak (landed house) yang paling laku dan terus diincar konsumen adalah untuk kelas menengah bawah.
"Rumah dengan harga Rp 500 jutaan mendapat atensi paling besar dari konsumen. Pada 2014 lalu, transaksi rumah ini tak pernah sepi bahkan selalu oversubscribe," tutur Panangian kepada Kompas.com, Senin (19/1/2015).
Menurut Panangian, ceruk pasar kelas menengah ke bawah menempati porsi terbesar. Mereka merupakan pengguna akhir (end user) yang memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR).
"Jumlah konsumen yang merupakan pengguna akhir dan pembeli rumah pertama terus bertambah seiring diberlakukannya regulasi loan to value (LTV) yang efektif membatasi konsumen dengan motif spekulasi dan investasi," tutur Panangian.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), konsumen yang memanfaatkan KPR sebagai fasilitas utama sumber pembiayaan transaksi rumah, masih mendominasi yakni sebesar 76,07 persen. Sementara jumlah KPR yang tersalurkan hingga triwulan ketiga 2014 senilai Rp 306,6 triliun atau tumbuh 06,6 persen dibanding kuartal kedua tahun yang sama.
"Konsumen menengah bawah memiliki kemampuan membeli dan mencicil angsuran rumah. Pendapatan mereka sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan. Mereka tidak melihat situasi politik atau depresiasi Rupiah. Mereka butuh rumah, jadi kapan pun mereka memutuskan membeli rumah, mereka akan beli," lanjut Panangian.
Sementara, tambah dia, untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah menyediakan KPR Bersubsidi atau fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi konsumen yang berpendapatan di bawah Rp 5 juta per bulan.
"KPR subsidi ini menjadi generator pembangunan rumah sederhana tapak sekaligus tambahan "amunisi" buat MBR dalam melakukan transaksi rumah," tandas Panangian.
Menurut BI, MBR yang memanfaatkan KPR FLPP sebanyak 3,71 persen. Sedangkan dana KPR FLPP tersalurkan hingga kuartal III 2014 sebesar 36,37 persen dari yang ditargetkan. Ada pun sisa dana yang belum terserap selama 2013 sebesar Rp 4,5 triliun.
Dengan demikian terdapat 63,27 persen dana KPR FLPP yang belum dimanfaatkan MBR. Dana tersebut dinilai cukup untuk membiayai 90.000 unit rumah.
Strategi pengembang
Tahun ini, Panangian memperkirakan rumah dengan harga yang sama, Rp 500 juta, namun luasan lebih sempit tetap mendominasi penjualan. Dia mencontohkan, jika pada tahun lalu dengan dana sebesar itu, konsumen masih bisa mendapatkan rumah tipe 45/90, tahun 2015 mungkin hanya bisa mendapatkan rumah berdimensi 36/72.
"Pengembang menciptakan strategi itu agar produknya terserap dan terus berproduksi. Mereka, terlebih pengembang menengah bawah tidak akan pernah meninggalkan pasar ini. Nah, agar tidak kehilangan pasar, mereka membuat strategi seperti itu," jelas Panangian.
Sejatinya, kata dia, strategi yang sama juga diterapkan pengembang skala besar. Dia menunjuk ppara pengembang di Serpong yang memasarkan harga rumah sekitar Rp 900 juta hingga Rp 1,5 miliar dengan luas bangunan lebih sempit yakni 45/90 dan 60/100.
"Pengembang besar bermain di segmen ini karena kalau tetap harus memaksakan menjual dengan harga tinggi, tidak akan terserap pasar. Pasalnya, pasar juga memiliki kemampuan terbatas, mereka tidak akan sanggup menyerap rumah dengan harga terlalu tinggi namun rumah yang ditawarkan tidak sesuai luasannya," pungkas Panangian.
sumber : kompas.com
"Rumah dengan harga Rp 500 jutaan mendapat atensi paling besar dari konsumen. Pada 2014 lalu, transaksi rumah ini tak pernah sepi bahkan selalu oversubscribe," tutur Panangian kepada Kompas.com, Senin (19/1/2015).
Menurut Panangian, ceruk pasar kelas menengah ke bawah menempati porsi terbesar. Mereka merupakan pengguna akhir (end user) yang memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR).
"Jumlah konsumen yang merupakan pengguna akhir dan pembeli rumah pertama terus bertambah seiring diberlakukannya regulasi loan to value (LTV) yang efektif membatasi konsumen dengan motif spekulasi dan investasi," tutur Panangian.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), konsumen yang memanfaatkan KPR sebagai fasilitas utama sumber pembiayaan transaksi rumah, masih mendominasi yakni sebesar 76,07 persen. Sementara jumlah KPR yang tersalurkan hingga triwulan ketiga 2014 senilai Rp 306,6 triliun atau tumbuh 06,6 persen dibanding kuartal kedua tahun yang sama.
"Konsumen menengah bawah memiliki kemampuan membeli dan mencicil angsuran rumah. Pendapatan mereka sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan. Mereka tidak melihat situasi politik atau depresiasi Rupiah. Mereka butuh rumah, jadi kapan pun mereka memutuskan membeli rumah, mereka akan beli," lanjut Panangian.
Sementara, tambah dia, untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah menyediakan KPR Bersubsidi atau fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi konsumen yang berpendapatan di bawah Rp 5 juta per bulan.
"KPR subsidi ini menjadi generator pembangunan rumah sederhana tapak sekaligus tambahan "amunisi" buat MBR dalam melakukan transaksi rumah," tandas Panangian.
Menurut BI, MBR yang memanfaatkan KPR FLPP sebanyak 3,71 persen. Sedangkan dana KPR FLPP tersalurkan hingga kuartal III 2014 sebesar 36,37 persen dari yang ditargetkan. Ada pun sisa dana yang belum terserap selama 2013 sebesar Rp 4,5 triliun.
Dengan demikian terdapat 63,27 persen dana KPR FLPP yang belum dimanfaatkan MBR. Dana tersebut dinilai cukup untuk membiayai 90.000 unit rumah.
Strategi pengembang
Tahun ini, Panangian memperkirakan rumah dengan harga yang sama, Rp 500 juta, namun luasan lebih sempit tetap mendominasi penjualan. Dia mencontohkan, jika pada tahun lalu dengan dana sebesar itu, konsumen masih bisa mendapatkan rumah tipe 45/90, tahun 2015 mungkin hanya bisa mendapatkan rumah berdimensi 36/72.
"Pengembang menciptakan strategi itu agar produknya terserap dan terus berproduksi. Mereka, terlebih pengembang menengah bawah tidak akan pernah meninggalkan pasar ini. Nah, agar tidak kehilangan pasar, mereka membuat strategi seperti itu," jelas Panangian.
Sejatinya, kata dia, strategi yang sama juga diterapkan pengembang skala besar. Dia menunjuk ppara pengembang di Serpong yang memasarkan harga rumah sekitar Rp 900 juta hingga Rp 1,5 miliar dengan luas bangunan lebih sempit yakni 45/90 dan 60/100.
"Pengembang besar bermain di segmen ini karena kalau tetap harus memaksakan menjual dengan harga tinggi, tidak akan terserap pasar. Pasalnya, pasar juga memiliki kemampuan terbatas, mereka tidak akan sanggup menyerap rumah dengan harga terlalu tinggi namun rumah yang ditawarkan tidak sesuai luasannya," pungkas Panangian.
sumber : kompas.com
Comments